“Jika kamu ingin dunia berubah, jadilah perubahan itu sendiri.” (Mahatma Gandhi, politikus India 1869 – 1948)
Demikian kalimat bijak yang diutarakan oleh Mahatma Gandhi, tokoh terkenal dunia. Kalimat bijak di atas mewakili ratusan kalimat bijak yang mengedepankan akan pentingnya arti sebuah perubahan. Jikalau diperhatikan dengan seksama dari kalimat bijak tersebut ada kalimat kunci yang bisa kita ambil, yaitu perubahan adalah suatu keniscayaan dan kepastian yang mengikuti perkembangan dunia.
Sejak awal milenial perkembangan teknologi di dunia begitu cepat pertumbuhannya dan telah merambah pada seluruh sektor kehidupan manusia. Dalam sistem pembayaran, saat ini sebagian besar negara di dunia telah mengembangkan dan mengimplementasikan sistem pembayaran non tunai yang berbasis pada jaringan teknologi.
Gerakan Nasional Non Tunai
Bank Indonesia yang merupakan otoritas di bidang sistem pembayaran di Indonesia yang tugas dan kewenangannya mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran sejak tahun 2014 mencanangkan suatu gerakan bertransaksi tanpa menggunakan uang tunai, yang disebut Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).
GNNT ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan instrumen non tunai, sehingga berangsur-angsur terbentuk suatu komunitas atau masyarakat yang lebih menggunakan instrumen non tunai (Less Cash Society/LCS) khususnya dalam melakukan transaksi atas kegiatan ekonominya.
Untuk mendukung GNNT pemerintah menggulirkan paket regulasi terkait transaksi non tunai pada belanja negara, baik pada level Peraturan Pemerintah (PP) maupun pada level Peraturan Kementerian Keuangan (PMK).
Paket regulasi tersebut terdiri dari PP Nomor 50 tahun 2018 yang merupakan revisi dari PP 45 tahun 2013, PMK Nomor 178/PMK.05/2018 (178/2018) tentang Perubahan atas PMK 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta PMK Nomor 196/PMK.05/2018 (196/2018) tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah (KKP).
PMK 196/2018 pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari PMK 178/2018 di mana terdapat beberapa ketentuan yang mengatur belanja negara dengan mekanisme UP. UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari satuan kerja (satker) atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.
Pengaturan PMK 178/2018 pada dasarnya mengubah dua hal pokok, yaitu tentang besaran nominal UP dan jenis UP. Besaran UP terkecil ditingkatkan dari Rp 50 juta menjadi Rp 100 juta. Jenis UP ditambah dari semula hanya dengan tunai menjadi dua jenis UP, yaitu tunai (UP-T) dan kartu kredit pemerintah (UP-KKP), dengan porsi masing-masing adalah 60% (UP-T) dan 40% (UP-KKP).
Kartu Kredit Pemerintah
Menurut PMK 196/2018, KKP adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas belanja yang dapat dibebankan pada APBN, di mana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh Bank Penerbit KKP, dan satker berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran pada waktu yang disepakati dengan pelunasan secara sekaligus.
KKP itu tersendiri terbagi menjadi dua, yaitu: 1. KKP untuk keperluan Belanja Barang Operasional serta Belanja Modal, dan 2. KKP untuk keperluan Belanja Perjalanan Dinas Jabatan.
Instansi pemerintah yang berhak atas penggunaan KKP hanyalah satker yang merupakan unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/ Lembaga (pengguna APBN) dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran yang berhak atas penggunaan KKP.
Penggunaan KKP dalam sistem pembayaran transaksi keuangan negara pada saat ini menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan sudah tidak bisa ditawar lagi. Kebijakan adaptif tersebut sejatinya didasari oleh beberapa alasan yaitu: (1). Menghemat anggaran, penggunaan KKP pada setiap traksaksi keuangan akan berdampak positif yaitu semakin sedikit anggaran negara dalam mencetak uang, (2). Aman, transaksi keuangan dengan KKP akan melindungi pemegang kartu dari kejadian kehilangan, baik karena kelalaian maupun karena tindakan kriminal seperti pencurian/perampokan, (3). Praktis dan Nyaman, dalam rangka melakukan transaksi keuangan negara pengguna KKP tidak lagi harus membawa banyak uang (4). Transaksi KKP dapat mengurangi peredaran uang palsu, (5). Tertib administrasi, transaksi dengan KKP akan dilakukan melalui jalur terorganisir yaitu melalui bank dan lembaga keuangan.
Harapan dalam Penggunaan KKP
Berdasarkan alasan tersebut berbagai harapan pun bermunculan atas penggunaan KKP dalam transaksi keuangan negara. Setidaknya terdapat 3 (tiga) harapan utama, yaitu: (a). Semakin optimalnya pelayanan aparatur negara, dengan semakin mudah dan sederhananya transaksi keuangan keuangan diharapkan aparatur pemerintah menjadi semakin nyaman dalam memberikan layanan kepada masyarakat, (b). Semakin efisiennya belanja negara, tidak adanya lagi transaksi keuangan dengan uang tunai akan meminimalisir terjadinya kebocoran pada belanja negara, (c). Semakin meningkatnya roda perekonomian negara, dengan semakin mudahnya proses transaksi keuangan akan dapat meningkatkan pertumbuhan sektor riil dan sektor keuangan.
Tantangan Penggunaan KKP
Namun demikian, penggunaan KKP pada transaksi keuangan negara bukanlah tanpa kendala. Kendala-kendala tersebut harus dipandang sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi dengan optimis. Khususnya di Kabupaten Berau penggunaan KKP menghadapi beberapa kendala antara lain, yaitu:
Pertama, Mind set aparatur pemerintah. Perubahan mainstream dari kebiasaan transaksi keuangan dengan uang tunai menjadi transaksi keuangan non tunai memerlukan perubahan pola pikir dari para aparatur pemerintah agar implementasi KKP berjalan secara optimal.
Kedua, Ketersediaan Mesin EDC terbatas. Sebagai daerah kabupaten paling utara di Kalimantan Timur, infrastruktur perekonomian masih dalam tahap perkembangan, di mana sebaran pusat – pusat perekonomian masih bertumpu pada Kota Samarinda dan Balikpapan. Kondisi tersebut juga dapat ditunjukkan dari ketersediaan mesin EDC pada tiap-tiap merchant, di mana belum semua merchant di Kabupaten Berau ini telah menggunakan mesin EDC.
Ketiga, Pemahaman Surcharge. Sesuai Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu praktik surcharge dalam transaksi kartu kredit telah menyalahi aturan.
Sanksinya tegas, yaitu penerbit kartu kredit wajib menghentikan kerja sama dengan merchant yang terbukti menerapkan tindakan yang merugikan yang meliputi pelaku kejahatan (scamming), praktik gestun (gesek tunai), dan memproses tambahan biaya transaksi (surcharge). Namun demikian, karena pemahaman merchantyang rendah serta ketidaktegasan bank penerbit kartu kredit dalam menegakkan peraturan yang menyebabkan praktek ini masih sering terjadi.
Keempat, Masalah Perpajakan. Pemahaman kebanyakan orang meyakini bahwa setiap transaksi keuangan yang melibatkan perbankan pasti akan dikenakan pajak, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pasal 4A Ayat (3) Undang Undang Nomor 42 tahun 2009 tentang PPN tertulis jenis-jenis jasa yang tidak dikenakan PPN, salah satunya adalah jasa perbankan.
Secara sepesifik, kegiatan penyerahan jasa bank yang tidak dikenakan pungutan PPN antara lain : Pendapatan dari pembebanan biaya lewat layanan pengambilan dana atau penggunaan kartu kredit oleh nasabah bank lain melalui jaringan bank (EDC dan ATM).
Berbagai tantangan tersebut akan teratasi jika seluruh komponen yang berkepentingan, mulai dari Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan, KPPN, Kantor Perwakilan BI, Bank, Satker, Merchant, serta Pemegang KKP mempunyai komitmen bersama untuk memainkan perannya masing-masing secara optimal dengan sinergi yang kuat. Dan tentunya akan berdampak pada perputaran perekonomian dan pembangunan di Bumi Batiwakkal Berau tercinta ini. (*/sam)
*) Kepala Seksi PDMS KPPN Tanjung Redeb Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan