TANJUNG REDEB – Sepanjang tahun 2021, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Berau Junaidi mengungkapkan, pihaknya menerima sebanyak 1.267 kasus perselisihan ketenagakerjaan di Bumi Batiwakkal. Dari ribuan pengaduan tersebut, tersisa 6 kasus yang kini masuk tahap penyelesaian.
“Iklim ketenagakerjaan yang kondusif merupakan salah satu kebutuhan dalam mengundang investor,” katanya kepada Berau Post (19/12).
Dijelaskannya, dalam sistem penyelesaian pelaporan, yakni melalui Lembaga Kerja Sama Bipartit (LKS Bipartit) atau antara perusahaan dan buruh atau pekerja. Jika belum membuahkan hasil, dilanjutkan ke ranah mediasi antara buruh dan pengusaha, kemudian dilakukan verifikasi oleh Bidang Hubungan Industrial, Disnakertrans. Apabila kembali menemui jalan buntu, maka akan dijadwal untuk mediasi oleh pegawai mediator hubungan industrial Disnakertrans Berau.
“Setelah Bipartit dalam waktu 30 hari belum ada kesepakatan kedua belah pihak, maka salah satu pihak mencatatkan perselihian tersebut, kemudian akan dilanjutkan dengan Tripartit,” jelasnya.
Ia menuturkan, dengan adanya hal itu, perusahaan bisa menyelesaikan kasusnya sendiri, tanpa melibatkan pihak ketiga. Namun jika tidak selesai, maka perusahaan atau pekerja menggandeng Disnakertrans, khususnya Bidang Hubungan Industrial (HI) untuk duduk bersama mencari solusi terbaiknya.
Dijelaskan, Junaidi, perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan para pekerja/buruh atau serikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja atau serikat buruh dalam satu perusahaan, sesuai dengan Pasal 1 UU Nomor 2 tahun 2004.
Di dalam UU Nomor 2 tahun 2004, terdapat 4 jenis perselisihan. Yakni perselihan hak, adalah perselisihan yang ditimbulkan karena tidak terpenuhinya hak di salah satu pihak, dan hal ini timbul karena perbedaan pelaksanaan atau perbedaan penafsiran terhadap ketentuan undang-undang, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Kedua perselisihan kepentingan. Dalam hal ini, perselisihan disebabkan karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan atau perubahan syarat-syarat kerja dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Selanjutnya perselisihan PHK, terjadi apabila tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak yang bersengketa. Keempat, perselisihan anatara serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan, dan kewajiban hak.
Junaidi menjelaskan, untuk mengatasi hal-hal di atas, ada beberapa mekanisme yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan dari setiap perselisihan yang terjadi. Yaitu mekanisme antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja yang ada dalam perusahaan trerbut, untuk melakukan bipartit, mediasi atau konsiliasi, dan atau arbitrase serta pengadilan hubungan industrial.
“Dalam praktiknya semua jenis permasalahan hubungan industrial pertama kali harus diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah yang dilakukan secara bipartit. Lalu apabila perundingan bipartit mencapai kesepakatan atau persetujuan yang disebut sebagai Persetujuan Bersama (PB),” katanya.
“Namun apabila perundingan tidak mencapai kata sepakat, maka pihak yang bersengketa mencatatkan perselesihan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan khsusunya HI, pada provinsi, kabupaten, kota,” jelas Junaidi.
Lebih lanjut, ia mengatakan, bagi perusahaan yang bermasalah dengan pekerja, agar tidak sampai keluar, maka mereka akan membentuk LKS Bipartit. Diketahui, sejak tahun 2018 ada 30 perusahaan yang membentuk LKS Bipartit, kemudian PKB ada 10 dan PP 48. Untuk pengesahannya dilakukan di Disnakertrans Berau atau provinsi dan juga Kemenaker.
“Meskipun telah membentuk LKS Bipartit, diimbau pihak pengusaha dapat melaporkan hasil pertemuannya ke Disnakertrans, agar bisa dipetakan, apa yang menjadi isu ketenagakerjaan yang dibahas,” katanya.
Peraturan Perusahaan (PP) sendiri bertujuan untuk menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban pekerja, serta antara kewenangan dan kewajiban pengusaha, memberikan pedoman bagi pengusaha dan pekerja untuk melaksanakan tugas kewajibannya masing-masing, menciptakan hubungan kerja harmonis, aman dan dinamis antara pekerja dan pengusaha, dalam usaha bersama memajukan dan menjamin kelangsungan perusahaan, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Menurut Pasal 111 UU Ketenegakerjaan, Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat, hak dan kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban pekerja/buruh, syarat kerja, tata tertib perusahaan, dan jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
“PP juga harus dimintakan saran pertimbangan ke pekerja atau serikat pekerja yang ada terbentuk diperusahaan tersebut, apabila ada saran, maka wajib dilampirkan, kemudian dari dinas juga ada tim pengoreksinya, jika PP tersebut tidak sesuai dengan amanah UU,” terangnya.
Menurut Pasal 1 ayat (21) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan perjanjian, di mana pasal per pasalnya tersebut, bukan kehendak dari salah satu sisi, ini merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak, yakni pengusaha dan serikat pekerja diperusahaan tersebut, yang wajib ditaati dan dilaksanakan, yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kepada dua belah pihak. Serikat pekerja yang bisa melakukan perundingan PKB harus tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pada dasarnya, PKB bukanlah dokumen yang wajib dimiliki oleh semua perusahaan, melainkan sarana untuk memuat kesepakatan baru jika hal ini dibutuhkan oleh perusahaan dan pekerja.
Junaidi menjelaskan manfaat dari PKB yakni, pekerja maupun pengusaha akan lebih memahami tentang hak dan kewajiban masing-masing, serta memahami pasal per pasal yang ada di dalam PKB, guna meminimalisasi timbulnya perselisihan hubungan industrial dalam hubungan kerja. Sehingga dapat menjaga kelancaran proses produksi dan peningkatan usaha dan kesejahteraan pekerja.
“Tentu kami berharap, pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja atau serikat buruh, bisa memaksimalkan sarana-sarana HI, dan mekanisme tata cara penyelesaian perselisihan HI, apabila ada permasalahan dalam hubungan kerja,” pungkasnya. (hmd/adv/udi)