TANJUNG REDEB – Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar bagi nelayan di Bumi Batiwakkal, makin sulit didapatkan. Hal itu diungkapkan Pendamping Nelayan Berau, Sulfikar, Kamis (13/1).
Ia mengungkapkan, sudah nyaris sebulan ini nelayan kesusahan untuk mendapatkan solar. Dijelaskan Sulfikar, saat ini nelayan memilih tidak melaut, dan terpaksa bekerja serabutan untuk sementara waktu.
“BBM susah didapatkan, padahal (nelayan) sudah pegang rekomendasi dari Dinas Perikanan,” jelasnya kepada Berau Post (13/1). Sulfikar mengaku tidak tahu apa penyebab langkanya solar di Berau. Yang jelas, dirinya khawatir jika nelayan tak bisa melaut, pasokan ikan di pasar akan mengalami kelangkaan.
“Ini yang kita takutkan, nelayan juga tidak berani melaut, jika BBM yang dibawa sedikit,” ucapnya. Ia meminta solusi kepada Dinas Perikanan, agar bisa membantu nelayan mendapatkan BBM agar bisa melaut. “Perekonomian nelayan jelas ambruk, dapur mereka tidak bisa mengepul. Kami minta solusilah dari dinas terkait,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPRD Berau Madri Pani, yang mendapatkan keluhan dari para nelayan, meminta Pemkab Berau, menyiapkan solusi dalam waktu singkat, guna bisa membantu nelayan mendapatkan solar.
“Pemkab harus bergerak cepat, jangan sampai, nelayan lebih lama lagi tidak bisa melaut,” ujar mantan Kepala Kampung Gurimbang ini.
Politisi Partai NasDem ini mengungkapkan, dengan nelayan tidak bisa melaut untuk mencari ikan, tentu berdampak pada kondisi perekonomian mereka. Ia berharap, pemkab segera mendapatkan solusi. Jangan sampai, masyarakat Berau lainnya ikut merasakan imbas sulitnya ikan di pasaran.
“Kita berharap agar ada solusi sementara dulu, agar permasalahan ini bisa selesai,” katanya.
Terpisah, Kepala Seksi Pengelolaan Ekosistem Laut dan Pesisir, Dinas Perikanan Berau, Taufiq Hidayat, mengatakan pihaknya hanya memberikan rekomendasi untuk nelayan, agar bisa mendapatkan BBM di SPBU, berdasarkan jenis mesin dan PK kapalnya, untuk mendapatkan jatah BBM per bulan. Jadi misalnya kapal 24 PK, dikalikan konferensi per PK-nya itu. Berdasarkan aturan pusat, BBM yang digunakan sebanyak 0,0165 liter per jam per PK. Itu dikalikan jumlah hari dalam satu bulan, dikalikan jumlah jam dalam satu hari.
“Berbeda-beda jumlahnya, ini memacu pada Peraturan Mentri KP (Kelautan dan Perikanan) terkait dengan pendistribusian bahan bakar subsidi solar, dan Peraturan PBH Migas Nomor 17 tahun 2019, tentang Penerbitan Surat Rekomendasi Perangkat Daerah untuk Pembelian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu,” jelasnya.
Terkait dengan kelangkaan BBM, pihaknya sudah mendapatkan laporan, namun sifatnya tidak resmi. Memang secara kuota, Dinas Perikanan mengajukan kuota sebanyak 15 juta liter dalam setahun. Sehingga per bulannya sesuai data yang dibutuhkan sebanyak 1,4 juta liter, untuk 3.800 unit kapal yang terdata.
“Realisasinya hanya kisaran 400 sampai 600 liter, jadi bisa dibilang kekurangan. Dan itu memang tidak terealisasi dari pusat,” ucapnya.
Ia melanjutkan, solusi sementara yakni ada beberapa SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan), yakni di Sambaliung, dan di Dumaring, Kecamatan Talisayan, pihaknya berupaya mengajukan kuota tambahan khusus SPBN.
“Tapi memang secara internal, kita tidak bisa mengintervensi mereka (SPBN, red). Karena batasan kita hanya bisa berhubungan dengan nelayan,” tambahnya.
Ia menambahkan, Dinas Perikanan berharap adanya pengawasan dari pemerintah dan aparat penegak hukum, ke mana sebenarnya solar subsidi ini disalurkan. Karena sepengatahuan pihaknya, solar subsidi, pemasarannya melalui mekanisme pemerintah. Jadi ada empat sektor prioritas mendapatkan BBM subsidi ini, yakni perikanan, pertanian, peternakan, dan perkebunan. Kalau mekanisme khusus perikanan diatur dalam rekomendasi.
“Kami menerbitkan itu (surat rekomendasi, red) per bulan, karena menyesuaikan kondisi jarak yang jauh,” pungkasnya. (hmd/udi)