TANJUNG REDEB – Komoditas batu bara menjadi primadona sepanjang semester kedua tahun 2021 lalu. Selama tujuh bulan, sejak Juni hingga Desember, harga batu bara acuan (HBA) yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral selalu di atas USD 100 per ton. HBA tertinggi pada November bahkan menyentuh USD 215 per ton. Harga tersebut adalah HBA tertinggi dalam sejarah sejak emas hitam pertama kali diperdagangkan secara internasional mulai tahun 2000.

Harga komoditas yang prima sepanjang 2021 sebenarnya nampak kontras dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2020, HBA tertinggi hanya USD 67,08 per ton yakni pada Maret. Adapun HBA rata-rata sepanjang 2020 hanya USD 58,17 per ton. Sementara itu, HBA rata-rata pada 2021 menembus USD 121,47 per ton. Dapat dikatakan secara umum, harga batu bara pada 2021 naik 108 persen atau lebih dua kali lipat dibanding 2020.

“Fluktuasi atau naik-turunnya harga komoditas mentah seperti batu bara dalam waktu sesingkat ini adalah hal yang wajar,” ujar Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Tutuk SH Cahyono, ketika diwawancarai saat harga batu bara sedang tinggi-tingginya pada November 2021 lalu.

Makanya, sambung dia, apabila dalam setahun atau dua tahun mendatang harga komoditas jatuh, bukan hal yang aneh pula. Harga komoditas sumber daya alam memang fluktuatif. Walaupun demikian, dampak kenaikan harga batu bara sejak Juni hingga Desember 2021 terlihat jelas dari nilai ekspor Kaltim. Dari sektor pertambangan, ekspor batu bara Kaltim diperkirakan menembus Rp 116 triliun dalam kurun Juni hingga Oktober 2021. Nilai ekspor batu bara ini meningkat 243 persen atau dua kali lipat lebih dibanding kurun yang sama pada tahun 2020.

Menurut publikasi Badan Pusat Statistik Kaltim, nilai ekspor batu bara Kaltim pada Juni 2021 sebesar USD 1.415 juta, sedangkan pada Oktober 2021 sudah menembus USD 2.121 juta. Total ekspor batu bara Kaltim sepanjang Juni 2021 hingga Oktober 2021 mencapai USD 8.321 juta atau sekitar Rp 116 triliun (kurs Rp 14.000 per USD).

“Besar nilai ekspor ini setara dengan biaya pembangunan 116 Jembatan Mahkota IV (Jembatan Kembar) di Samarinda,” ujarnya.

Tutuk SH Cahyono mengatakan, penghentian ekspor memang langkah yang bagus dari sisi pemerintah, untuk memastikan pasokan energi dalam negeri. Menurutnya, pengusaha telah mendapatkan untung besar dari peningkatan harga batu bara tahun lalu. Kini, waktunya kepentingan nasional yang diutamakan.

“Permintaan global sedang tinggi sementara stok terbatas. Ditambah faktor cuaca, harga komoditas melejit," imbuhnya.

BI Kaltim memperkirakan, melejitnya harga baru bara tidak berlangsung lama. Harga komoditas dapat turun dengan cepat, secepat kenaikannya. Kondisi ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Tiongkok yang tengah meningkatkan produksi batu bara dalam negeri. Pasokan tersebut diperkirakan turut memengaruhi harga emas hitam di pasar global.

Sementara itu, untuk jangka menengah, Tiongkok bersiap mengurangi emisi karbon dengan menghentikan operasi pembangkit batu bara. Kebijakan ini berhubungan dengan program langit bersih. Sebagai gantinya, Tiongkok menyiapkan sumber energi terbarukan dengan membangun 100 gigawatt pembangkit tenaga surya dan 50 gigawatt tenaga angin setiap tahun.

Tiongkok tidak sendirian. Pada 31 Oktober hingga 12 November 2021, Conference of Parties (COP) ke-26 diadakan United Nations Climate Change. Sebanyak 190 negara membahas isu perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia. Forum tersebut menyepakati pengurangan emisi gas rumah kaca dan dampak perubahan iklim. Seluruh negara tersebut akan mempercepat penghentian konsumsi energi dari bahan bakar fosil.

Sebanyak 73 institusi juga termasuk 46 negara sepakat menghentikan operasi PLTU batu bara. Negara maju menghentikan pembangkit listrik mulai 2030 dan negara berkembang memulainya pada 2040. Akhir dari industri ekstraktif batu bara, sebagaimana disebut Menteri Bisnis dan Energi Inggris, Kwasi Kwarteng, sudah di depan mata.

Sementara itu, Analis Eks Wakil Menteri BUMN Arcandra Tahar mengungkapkan, menggilanya harga batu bara sepanjang 2021 memang disebabkan beberapa faktor. Sejumlah ekonom menilai, kondisi energi di Tiongkok yang paling memengaruhi. Negara tujuan ekspor batu bara terbesar Indonesia ini mengalami krisis energi yang dilatarbelakangi program langit bersih dari Presiden Xi Jinping.

Padahal, konsumsi energi di Tiongkok tengah meningkat setelah bangkit dari pandemi Covid-19. Permintaan batu bara Negeri Tirai Bambu makin tinggi karena ketegangan politik Tiongkok dengan Australia.

"Harapan akan terkendalinya pandemi Covid-19 pada 2021 telah menimbulkan optimisme para pelaku ekonomi untuk mulai berinvestasi dan beraktivitas. Hal ini mengakibatkan kebutuhan energi menjadi lebih tinggi," ujarnya.

Faktor kedua adalah krisis energi di Eropa. Inggris, contohnya, kesulitan pasokan BBM setelah keputusan Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa). Keadaan makin parah karena harga komoditas energi utama mereka yaitu gas alam naik tajam. Akhirnya, pembangkit-pembangkit listrik di Inggris terpaksa mengonsumsi batu bara. Yang terakhir adalah kebijakan India merespon kondisi di Tiongkok dan Inggris. Negara tujuan ekspor batu bara Indonesia terbesar kedua ini sebenarnya produsen batu bara juga. Akan tetapi, India berupaya mengamankan pasokan dalam negeri mereka. Kebijakan tersebut turut menekan pasokan batu bara di pasar dunia.

Terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) Samarinda, Eko Priyanto, sepakat bahwa COP ke-26 dapat meredam harga komoditas yang menggila. Di samping itu, jelasnya, kondisi politik Tiongkok dan Australia mulai membaik sehingga membantu menurunkan permintaan batu bara dunia.

"Dilihat dari faktor di atas, harga akan kembali normal. Kemungkinan berlangsung lima hingga 10 tahun ke depan," tutur Eko.

Eko Priyatno menambahkan, ketika regulasi itu ditetapkan, pengusaha batu bara harus mengikuti. Hal ini jelas menyebabkan pendapatan menurun. Belum lagi permasalahan kontrak atau komitmen yang sudah dibuat dengan pembeli di luar negeri.

“Biasanya ada klausa force majeure karena adanya kebijakan pemerintah dan jangka pendek. Tapi setidaknya ini harus jadi perhatian,” sebutnya.

Kurun waktu yang ia sebutkan berlandaskan dari fakta bahwa transisi sumber energi dari batu bara ke energi yang lebih bersih memerlukan waktu panjang. Pengusaha batu bara sudah menyadari kondisi itu.

Sementara itu, Akademikus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Samarinda, Hairil Anwar, mengingatkan, Kaltim tidak boleh terlena dengan harga batu bara yang prima sepanjang 2021. Menurutnya, kenaikan harga batu bara ini belum tentu berdampak signifikan terhadap kondisi perekonomian di Bumi Etam. Situasi perekonomian masih sukar diprediksi sehingga perusahaan cenderung tidak mengambil risiko dalam keputusan investasi.

“Kenaikan harga batu bara ini tidak berlangsung lama karena siklus di pasar global mulai pendek. Situasi ini diperkirakan hanya berlangsung lima tahun. Momentum kenaikan harga batu bara harus dimanfaatkan untuk mentransformasi sumber ekonomi lain,” ingatnya.

Ancaman jatuhnya harga batu bara pada tahun-tahun mendatang juga diingatkan BI Kaltim. Apabila Kaltim tidak berbenah, BI menilai, perekonomian provinsi bisa terjun bebas. Kaltim sedari sekarang harus mencari alternatif pengganti batu bara sebagai penggerak utama ekonomi provinsi.

Keadaan luar biasa juga harus jadi perhatian. Contohnya, kebijakan pemerintah yang berlaku 1 Januari 2022 tentang larangan ekspor batu bara. (hmd/***/arp)