TANJUNG REDEB - Bupati Berau Sri Juniarsih segera menginstruksikan agar bahasa daerah (Bahasa Banua) diterapkan menjadi bahasa pengantar dan penyampai informasi, terutama di Bandara Kalimarau.
Sri Juniarsih mengaku akan menindaklanjuti masukan dan surat usulan dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Berau. Salah satunya segera mengagendakan pertemuan dengan Kepala Bandara Kalimarau. “Kami akan bersurat resmi, dan dalam waktu dekat akan membahas hal ini dengan pimpinan Bandara Kalimarau, agar bisa diproses segera,” ujarnya, Sabtu (5/2).
Bupati juga mengaku sangat mendukung adanya usulan tersebut. Karena itu, Pemkab Berau mendorong pihak Bandara Kalimarau untuk terus berinovasi dengan mengenalkan budaya Berau kepada pengunjung. Karena memang selama ini bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam penyampaian informasi di bandara adalah Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.
"Secara tidak langsung juga memperlihatkan bahwa kita mempunyai kebudayaan yang disampaikan melalui bahasa daerah (Banua). Jadi saya sangat setuju dan mendukung sekali," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Kadin Berau, Fitrial Noor mengaku, usulan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dan penyampai informasi didasari kesepakatan pihaknya bersama warga Banua. Hal ini tak lain untuk melestarikan budaya Bumi Batiwakkal-sebutan Berau.
“Kami bersama warga Berau dan tokoh-tokoh Banua sepakat, bahasa daerah menjadi bahasa pengantar dan penyampai informasi, salah satunya di bandara. Dan Alhamdulillah bupati mendukung, semoga usulan kami ini bisa segera terealisasi," kata Pipiet-sapaan akrabnya.
Terlebih lanjut Pipiet, penggunaan bahasa daerah ini sudah ada regulasinya. Yakni Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perlindungan Bahasa Banua dan Kebudayaan Barrau. Bahkan menurutnya, hal itu bukanlah hal baru di Indonesia. Sudah banyak contoh bandara-bandara di Indonesia yang menerapkan bahasa daerah dalam penyampaian informasi. Misalnya Bandara Jogjakarta, Bandara Lombok dan Bandara Selayar.
“Saat ini sebenarnya pihak Bandara Kalimarau sudah mulai ikut melestarikan budaya daerah, dengan memutar lagu-lagu daerah di bandara dan tentu perlu kita apresiasi,” ucapnya.
Bahkan kata Pipiet, ada juga hari-hari tertentu para petugas bandara menggunakan baju daerah dalam menerima penumpang di zona kedatangan. Tetapi dia menyarankan agar pakaian daerah yang digunakan minimal tiga suku asli Berau yakni Banua, Bajau, dan Dayak.
“Begitu juga dengan imbauan-imbauan atau peringatan-peringatan, juga bisa ditambahkan dalam bentuk Bahasa Banua. Jika semua ini bisa diterapkan, tentu akan menjadi upaya yang sangat efektif dalam melindungi dan melestarikan Bahasa Banua,” tegasnya.
Selain itu lanjut Pipiet, hal itu juga dapat diterapkan di berbagai layanan publik, seperti bank, kantor-kantor swasta, hotel, termasuk kantor-kantor pemerintah. Mulai dari memutar lagu daerah, dan menyediakan informasi-informasi dalam bentuk Bahasa Banua.
“Langkah besar juga perlu dilakukan pemerintah, misalnya meniru kebijakan Pemkab Kukar, yang menerapkan kewajiban menggunakan pakaian khas daerah Kutai yakni miskat (pakaian adat Kaltim) setiap hari Kamis,” bebernya.
Hal itu juga sekaligus dalam rangka lebih mencintai dan mewarisi nilai-nilai budaya. Pencanangan pemakaian khas Banua (banua day). Pakaian khas Banua ini sendiri biasa dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari di kalangan keraton atau kesultanan.
“Sedangkan mengenai bahan yang dipergunakan bebas. Jika ini bisa segera diterapkan oleh pemkab juga, tentu akan menjadi langkah yang sangat baik dalam hal mengimplementasikan Perda Nomor 7/2018 tersebut,” tutupnya.(mar/har)