TANJUNG REDEB - Pemerintah telah menghapus syarat mendirikan bangunan dengan mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Namun penghapusan IMB dianggap makin memberatkan masyarakat yang ingin mendirikan bangunan.
Menurut Suseno, warga Tanjung Redeb, dirinya yang berencana membangun rumah, tak lagi diminta untuk mengurus IMB. Tapi diganti dengan mengurus Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Awalnya Suseno menganggap mengurus PBG sama dengan proses pengurusan IMB. “Ternyata lebih rumit,” katanya saat menghubungi Berau Post kemarin (19/5).
Sebab lanjut Suseno, dirinya harus lebih dulu memakai jasa konsultan konstruksi. Jika tidak, PBG tidak bisa diterbitkan pemerintah. “Nanti konsultan yang buat kajian pembangunannya, baru dipresentasikan ke PU (Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang),” ungkapnya.
Tapi bukan itu yang menjadi persoalan utamanya. Melainkan banyaknya tambahan biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk melakukan pembangunan. “Konsultan itu nggak gratis. Kasihan masyarakat kecil kaya kami ini, mau niat baik urus izin baik-baik, tapi malah seperti dipersulit,” ungkapnya.
Menurutnya, makin sulitnya proses pengurusan izin membangun, bisa membuat masyarakat makin malas untuk tertib dalam mengurus perizinan saat ingin membangun. “Karena prosesnya makin sulit dan mahal,” ungkap dia.
Berapa biaya yang harus dikeluarkannya untuk mengurus PBG? Ditanya demikian Suseno belum bisa memastikan. “Karena setelah disuruh cari konsultan, saya malah bingung. Makanya belum diurus lagi ini,” ungkapnya.
Dikonfirmasi mengenai hal itu, Pengadministrasi Sistem Informasi Pengendalian Pembangunan, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Berau, Djumadi Yusuf, membenarkannya.
Dijelaskannya, syarat dokumen PBG diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Aturan baru tersebut juga membuat PP Nomor 36 Tahun 2005 tentang IMB dicabut.
Yusuf melanjutkan, IMB merupakan izin yang harus diperoleh pemilik sebelum atau saat mendirikan bangunan, di mana teknis bangunan harus dilampirkan saat mengajukan permohonan izin. Sementara PBG bersifat sebagai aturan perizinan yang mengatur bagaimana bangunan harus didirikan. "Jadi PBG mengatur bagaimana bangunan harus memenuhi standar teknis yang sudah ditetapkan," ujarnya kemarin (19/5).
Standar teknis yang dimaksud, lanjut Yusuf, berupa perencanaan dan perancangan bangunan gedung, pelaksanaan dan pengawasan konstruksi bangunan gedung, dan pemanfaatan bangunan gedung.
Selain itu, jika sebelumnya pengurusan IMB dilakukan di Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Berau, namun setelah adanya PP 16/2021, pengurusan PBG dipindahkan ke DPUPR Berau. "Sekarang proses pengurusan administrasi dan teknis PBG ada di DPUPR, sedangkan pengurusan pembayaran retribusi PBG masih di DPMPTSP," jelasnya.
Disebut Yusuf, PBG mulai diterapkan di Berau sejak Maret lalu. Karena pada Januari dan Februari masih dalam masa transisi persiapan pembentukan sekretariat PBG dan tim teknis PBG. Dia memastikan, semua jenis bangunan yang ingin didirikan masyarakat, seperti pembangunan hunian, toko dan ruko, hotel, dan lainnya, harus mengantongi dokumen PBG.
"Jadi seluruh bangunan gedung itu entah itu rumah tinggal, toko hingga hotel semuanya sama persyaratan yang berlaku. Tidak ada pengecualian dalam peraturan itu," tegasnya.
“Pemohon bisa melakukan permohonan via online berbasis aplikasi yang dibuat oleh Kementerian PU. Login dan muncul persyaratannya. Memang syaratnya itu sekarang menggunakan persyaratan standar teknis. Jadi seluruh bangunan itu, dokumen perencanaannya teknisnya menggunakan jasa konsultan konstruksi," sambungnya.
Lanjut dijelaskannya, produk konsultan kontruksi berupa gambar spesifikasi teknis dan ada persyaratan lainnya. Seperti dokumen lingkungan, dan beberapa krikteria lainnya yang sifatnya teknis.
Selain itu, persyaratan pemohon juga dievaluasi. Apakah sudah betul dan apakah sudah sempurna. Itu pun dievaluasi oleh akademisi perguruan tinggi dan ahli yang independen. Jika dalam proses evaluasi dikatakan tidak sesuai, maka dikatakan tidak sesuai.
“Para ahli dan akademisi itu tidak hanya di Berau, terkadang dari Jawa, Samarinda, hingga di Makassar. Jadi tergantung siapa yang kami tunjuk, sistem tinggal memilih tenaga ahli yang mengevaluasi dokumen. Jadi bukan kami yang mengevaluasi, kami sifatnya hanya memfasilitasi saja," jelasnya.
Diakuinya, sebagian masyarakat mungkin bisa menyanggupi. Tapi tentu saja sebagian lagi menjadi beban karena harus menambah biaya lagi.
"Memang berat. Cuma itu tadi. Sebagian pendapat orang juga bahwasanya yang namanya membangun artinya sudah mempunyai biaya. Dan membangun itu sekarang sudah tidak murah memang," katanya.
“Tapi memang itu aturan langsung dari pusat. Kami sebagai pelaksana teknis hanya melaksanakan amanat dari peraturan pemerintah seperti itu. Sehingga memang tidak ada celah untuk toleransi," sambungnya.(mar/udi)